JANGAN TERLALU MEMBENCI DAN JANGAN TELALU MENYUKAI, BOLEH JADI ITU SALAH SATUNYA BERDAMPAK BURUK UNTUK KITA


وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).
Ini adalah kaidah agung yang memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan orang-orang yang memahaminya dan mengambil petunjuk dengan petunjuknya. Ini adalah kaidah yang memilliki hubungan dengan salah satu pokok keimanan yang agung, yaitu “iman dengan Qadha’ dan Qadar.” Kaidah ini adalah Firman Allah SWT -dalam Surat Al Baqarah dalam konteks tentang kewajiban jihad di jalan Allah Ta’ala,
وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).
“Kebaikan” yang disebutkan secara global ini ditafsirkan oleh firman Allah SWT lainnya dalam Surat an-Nisa’ -dalam konteks tentang menceraikan istri-,
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)

Firman-Nya, “kebaikan yang banyak”, adalah penafsir dan penjelas bagi “kebaikan” yang disebutkan dalam ayat (dalam Surat) Al-Baqarah, dan ia adalah ayat pertama yang dengannya kami buka pembicaraan ini.
Jika kita membuka kisah-kisah Al Qur’an dan lembaran-lembaran sejarah, atau kita memperhatikan realitas, kita akan mendapatkan darinya banyak pelajaran dan bukti, mungkin kita akan mengingatkan sebagian darinya, mudah-mudahan dalam hal itu terdapat hiburan bagi setiap orang yang sedang bersedih, dan pelajaran bagi orang yang sedang dilanda kecemasan, sebagaimana enam kisah berikut ini :
(1). Kisah ibu Nabi Musa 
yang melemparkan anaknya (Musa kecil) ke laut!
Jika Anda renungkan, Anda akan mendapatkan bahwa tidak ada yang lebih dibenci oleh ibu Musa daripada jatuhnya anaknya di tangan keluarga Fir’aun, dan walaupun demikian tampaklah akibatnya yang terpuji dan pengaruhnya yang baik di hari-hari berikutnya, dan inilah yang diungkapkan oleh akhir dari kaidah ini:
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(2). Renungkanlah (juga) kisah anak kecil yang dibunuh oleh Khidhir 
atas dasar perintah Allah SWT, karena ia menjelaskan sebab ia membunuh dengan firman-Nya,
“Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (QS. Al Kahfi: 80-81).
Kita berhenti sejenak di sini dan bertanya:
Berapa banyak manusia yang Allah SWT belum menakdirkan untuk menganugerahinya anak, lalu hatinya menjadi sempit karenanya?! Ini adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi yang tidak layak untuk terus berlanjut adalah kesedihan yang terus-menerus, dan merasa (selalu) gagal yang dapat menghancurkan seluruh pekerjaan dan aktivitasnya dalam hidup ini!
Andai saja orang yang belum dianugerahi nikmat anak merenungkan ayat ini, bukan hanya untuk menghilangkan kesedihannya saja, tetapi juga agar hatinya tenang dan dadanya lapang, dan andai saja ia melihat takdir ini dengan kaca mata nikmat dan rahmat, dan bahwasanya Allah SWT bisa jadi memberikannya nikmat ini karena sayang kepadanya! Siapa yang tahu? Mungkin saja jika dia dianugerahi anak, anak ini akan menjadi sebab kecelakaan dan penderitaan bagi kedua orang tuanya, serta menganggu kehidupan merek berdua, atau memperburuk reputasi baik mereka berdua!Renungkanlah kisah Nabi Yusuf,
(3).  Anda akan mendapatkan bahwa ayat ini sangat cocok sekali dengan apa yang terjadi kepada diri beliau dan ayah beliau, Ya’qub a.s.
(4). Dalam permulaan perang Badar, Al Qur’an menanamkan makna ini kepada para pengikutnya. Allah berfirman,
Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS. Al Anfal: 5-6).
Maka berapa banyak Allah menetapkan bagi kaum Mukminin berupa kebaikan, kemuliaan, dan kewibawaan bagi kaum Muslimin setelah perang ini, padahal para sahabat Nabi SAW sebenarnya tidak menyukai pilihan berperang!
(5). Dalam as-Sunnah an-Nabawiyah terdapat banyak contoh, di antaranya: Ketika suami Ummu Salamah – Abu Salamah- meninggal dunia, Ummu Salamah berkata,
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah lalu ia mengucapkan apa yang diperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepadaNya. Ya Allah, berilah pahala kepadaku dalam musibahku dan berilah gantinya untukku dengan yang lebih baik darinya’, melainkan Allah akan memberi gantinya untuknya dengan yang lebih baik darinya’.” Ia berkata, “Maka ketika Abu Salamah meninggal, aku berkata, ‘Orang Muslim manakah yang lebih baik dari Abu Salamah? Rumah (keluarga) pertama yang berhijrah kepada Rasulullah SAW?’ Kemudian aku pun mengucapkannya, maka Allah memberi gantinya untukku dengan Rasulullah SAW!” (HR. Muslim No. 918).
Renungkanlah perasaan ini yang menghinggapi pada diri Ummu Salamah -yakni perasaan yang muncul pada sebagian wanita yang diuji dengan kehilangan orang yang paling dekat hubungannya dengan mereka dalam kehidupan ini dan keadaan mereka: Siapa lagi yang lebih baik daripada Abu Fulan?! -maka ketika Ummu Salamah melakukan apa yang diperintahkan oleh syariat berupa sabar, istirja’ (mengucapkan Innalillahi wa inna ilahi rajiun), dan ucapan yang diajarkan oleh Nabi SAW; Allah menggantinya dengan yang lebih baik yang belum pernah ia impikan (sebelumnya).
Demikianlah wanita Mukminah, ia harus tidak merangkum kebahagiaannya, atau membatasinya pada satu pintu saja di antara pintu-pintu kehidupan. Ya, kesedihan yang menimpa adalah sesuatu yang tidak ada (seorang pun) yang bisa selamat darinya, tidak pula para nabi dan rasul! Yang tidak layak adalah membatasi kehidupan dan kebahagiaan pada satu keadaan, atau mengaitkannya dengan laki-laki, atau wanita, atau syaikh!

(6). Dalam kehidupan nyata, terdapat kisah-kisah yang banyak sekali, saya sebutkan sebagiannya:
Ada seorang laki-laki yang datang ke bandara, dan ia kelelahan (karena mengangkat) beberapa barang, lalu ia tertidur yang menyebabkan pesawatnya berangkat, dan di dalamnya ada banyak penumpang yang lebih dari 300 penumpang, maka ketika ia bangun, ternyata pesawatnya baru saja berangkat, dan ia ketinggalan pesawat, maka sesaklah dadanya, dan ia menyesal dengan penyesalan yang sangat. Dan tak lewat beberapa menit kemudian setelah keadaan yang menimpanya ini, tersiar kabar tentang jatuhnya pesawat tersebut dan terbakarnya orang-orang yang ada di dalamnya secara keseluruhan!
Pertanyaannya adalah: Bukankah berarti ketinggalan pesawat itu lebih baik bagi orang ini?! Akan tetapi, mana orang-orang yang mau merenungkan dan mengambil pelajaran?
Dan hendaknya ia bertawakal kepada Allah, mengerahkan yang ia mampu dari sebab-sebab yang disyariatkan, dan jika terjadi sesuatu yang tidak ia sukai, hendaklah ia mengingat kaidah Al Qur’an yang agung ini,
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).
Dan hendaklah ia mengingat bahwasanya di antara kelembutan Allah terhadap hamba-hambaNya, adalah: “Bahwasanya Dia menakdirkan bagi mereka berbagai macam musibah, ujian, dan cobaan dengan perintah dan larangan yang berat adalah karena kasih sayang dan kelembutanNya kepada mereka, dan sebagai tangga untuk menuju kesempurnaan dan kesenangan mereka.”
Dan di antara kelembutan Allah yang agung: bahwasanya Dia tidak menjadikan kehidupan dan kebahagiaan manusia terkait dengan sempurna kecuali dengan-Nya, sedangkan perkara-perkara lainnya bisa saja diganti seluruhnya atau sebagiannya. 
Makna Kaidah Ini Secara Ringkas:
Bahwa manusia terkadang tertimpa oleh takdir yang menyakitkan yang tidak disukai oleh dirinya, maka mungkin saja ia tidak sabar, atau ia dihinggapi oleh kesedihan lalu ia mengira bahwa takdir tersebut adalah pukulan yang bisa memusnahkan harapan-harapan dan hidupnya, tetapi justru ternyata dengan takdir tersebutlah manusia mendapatkan kebaikan dari arah yang tidak ia ketahui.
Dan sebaliknya benar: Berapa banyak manusia yang berusaha dalam sesuatu yang kelihatannya baik, berjuang mati-matian untuk mendapatkannya, dan mengeluarkan apa yang mahal dan berharga demi mendapatkannya, tetapi ternyata justru yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang ia inginkan.
Jika Anda merenungkan dua ayat yang mulia tersebut, (yakni) ayat pertama dan kedua, Anda akan menemukan bahwa ayat pertama, yang berbicara tentang kewajiban jihad, berbicara tentang sakit fisik dan jasmani yang bisa menimpa orang-orang yang berjihad di jalan Allah, sebagaimana pada umumnya, dan jika Anda merenungkan ayat kedua, yakni ayat tentang menceraikan istri, Anda akan mendapatkannya berbicara tentang sakit psikologis yang bisa menimpa suami atau istri disebabkan salah satu (dari keduanya) memisahkan diri dari pasangannya!
Dan jika Anda merenungkan ayat jihad, Anda akan mendapatkannya berbicara tentang salah satu ibadah, dan jika Anda merenungkan ayat (dalam Surat) an-Nisa’, Anda akan mendapatkannya berbicara tentang hubungan-hubungan duniawi ini.
Jadi, kita berada di hadapan kaidah yang mencakup hal-hal yang banyak, baik itu masalah agama maupun duniawi, fisik maupun psikologis, dan ia adalah hal-hal yang seseorang hampir tidak dapat melepaskan diri darinya dalam kehidupan dunia ini, yang
Diciptakan dalam keadaan keruh,
dan engkau menginginkannya
jernih dari berbagai noda dan kotoran
Dan Firman Allah lebih mengena,
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Al-Balad: 4).

Jika hal ini telah jelas, maka ketahuilah bahwa mengaplikasikan kaidah Al-Qur’an ini ke dalam kehidupan adalah salah satu di antara apa yang paling besar yang dapat memenuhi hati dengan ketenangan dan kenyamanan, dan merupakan salah satu sebab yang paling penting untuk membuang kegalauan yang senantiasa menimpa kebanyakan manusia; disebabkan suatu kejadian tertentu, atau disebabkan oleh salah satu takdir yang menyakitkan yang menimpa dirinya di suatu hari tertentu![Syahida.com / ANW]
Sumber: Kitab 50 Prinsip Pokok Ajaran Al Qur’an Bekal Membangun Jiwa yang Kuat dan Pribadi yang Luhur, Karya: Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, Penerjemah: Abdurrahman, Lc. , penerbit: Darul Haq

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "JANGAN TERLALU MEMBENCI DAN JANGAN TELALU MENYUKAI, BOLEH JADI ITU SALAH SATUNYA BERDAMPAK BURUK UNTUK KITA"

Post a Comment